Menara Merah Putih Sabang merupakan sebuah Menara yang berada di pelabuhan Sabang. Disebut Menara Merah Putih karena cat menaranya yang berwarna merah putih. Menara ini menjadi salah satu objek wisata yg banyak dikunjungi oleh wisatawan maupun warga lokal.
Di sekitar menara terdapat taman & tempat kuliner yang semakin membuat kita betah berlama-lama di sini. Pengunjung bisa menaiki Menara yang tangganya mengelilingi Menara persegi empat ini hingga sampai diatasnya.
Dari atas Menara, kita dapat melihat pemandangan kota Sabang, terutama Pelabuhannya. Pulau Klah juga terlihat jelas dari atas menara. Sunrise & sunset pun dapat kita saksikan dari tempat ini.
Di depan menara terdapat jembatan apung yang sangat indah, ditambah lagi dengan kapal-kapal kecil atau “boat” (warga sabang menyebutnya). Dahulu di jembatan apung ini terdapat Jembatan permanen yg warga sabang menyebutnya “Jembatan Polisi” karena dulu letaknya di depan kantor polisi lama & ada jg yg menyebutnya “Jembatan Syahbandar” karena letaknya persis di depan Kantor Kesyahbandaran Sabang lama. Dahulu kantor polisi (Polres) & kantor Kesyahbandaran berdekatan.
Di jembatan ini dulu bersandar ka[al Navigasi (Disnav) sabang & di sini juga dulu kapal layar turis asing sering bersandar. Kini kedua nama tersebut tinggal kenangan setelah jembatannya tidak ada lagi & digantikan dengan jembatan apung. Saya sendiri tidak tau penyebabnya mengapa jembatan permanen yg legendaris itu tidak lagi digunakan. (isran panjaitan)
Selain tugu KILOMETER NOL yang terkenal di Kota Sabang, masih ada lagi monumen unik yang ada di Kota Sabang. Salah satunya adalah Tugu Sabang Merauke. Tugu Sabang Merauke ini memang dijuluki tugu kembar, karena memiliki kesamaan dengan tugu yang ada di Sota, Merauke. Namun, perlu kamu ketahui bahwa kedua tugu kembar itu bukanlah pertanda batas wilayah Republik Indonesia yang tepat. Di Merauke, tugu “kembar” ini terletak di wilayah Sota, terletak 500 meter dari tugu perbatasan. Sedangkan tugu yang berada di Kota Sabang, Tugu ini berada di Kota Atas, tepat di depan Kantor Walikota Sabang. Saat ini Tugu Kembar Sabang sudah berubah menjadi tempat yg indah dengan dibuatnya Taman.
Jembatan Ampera terbentang di atas Sungai Musi Kota Palembang dgn panjang 1.177 meter, lebar 22 meter dan tinggi 63 meter dan jarak antara menara 75 meter. Awalnya, semua bagian tengah jembatan ini bisa diangkat agar kapal-kapal besar bisa lewat. Namun sejak tahun 1970 aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi karena waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Dan pada tahun 1990, bandul pemberatnya dibongkar karena dikhawatirkan dapat membahayakan.
Jembatan yang berada di tengah-tengah Kota Palembang ini menghubungkan dua kawasan, yakni seberang ilir, dan seberang ulu. Kawasan ini dipisahkan oleh Sungai Musi. Pada saat itu, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Membangun jembatan untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ini sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Wali Kota Palembang diduduki oleh Le Cocq de Ville, tahun 1924 muncul kembali gagasan untuk membangun jembatan tersebut. Namun, sampai jabatan Le Cocq de Ville berakhir bahkan saat Belanda pergi dari Indonesia, proyek pembangunan itu tetap tidak pernah terealisasi. Kemudian, pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali muncul, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan lagi pembangunan jembatan saat sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956.
Pembangunan jembatan ini terbilang cukup nekat. Sebab, pada saat itu anggaran yang dimiliki Kota Palembang yang akan digunakan sebagai modal awal membangun jembatan sekitar Rp 30.000. Kemudian tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri dari Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumsel, H.A. Bastari dan pendampingnya Wali Kota Palembang, M. Ali Amin, beserta Wakil Wali Kota, Indra Caya.
Tim ini kemudian melakukan pendekatan kepada Presiden Soekarno untuk mendukung pembangunan jembatan tersebut. Setelah bertemu, gagasan tersebut disetujui oleh Bung Karno, dengan syarat dibuat juga taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Kemudian pada April 1962, pembangunan pembuatan jembatan pun dimulai. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Tak hanya itu, jembatan ini pun menggunakan tenaga ahli dari negara Jepang. Proses pembangunan jembatan ini memakan waktu tiga tahun.
Jembatan tersebut diresmikan pada 10 November 1965 oleh Gubernur Sumsel Brigjen Abujazid Bustomi. Sebagai pernyataan terima kasih kepada presiden, jembatan tersebut diberi nama Jembatan Bung Karno karena dengan sunguh-sungguh memperjuangkan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi. Pada tanggal tersebut seluruh bangsa Indonesia sedang memperingati hari pahlawan yang ke-20. Dan pada tanggal itu, rakyat Sumsel telah menerima hadiah hari Pahlawan dari Bung Karno, hadiah itu berupa sebuah jembatan yang megah di jantung Kota Palembang dan menjadi kebanggaan rakyat Sumsel yang diberi nama Jembatan Bung Karno . Namun pada tahun 1966 terjadi pergolakan gerakan anti-Soekarno, nama jembatan yang mengambil dari Nama Presiden RI pun diubah menjadi Jembatan Ampera yang artinya Amanat Penderitaan Rakyat hingga sekarang. Sejak saat itu, Jembatan Ampera menjadi salah satu icon yang membentuk kekhasan identitas Kota Palembang.
Beberapa tahun setelah diresmikannya Jembatan Ampera di Palembang. Pola-pola perdagangan sungai mulai berubah. Bersatunya wilayah hulu dan hilir serta lancarnya transportasi lewat jalan darat membuat para pedagang berperahu mulai beralih menggunakan kendaraan darat. Terbentuknya Pasar Benteng juga merupakan salah satu bentuk dari perubahan orientasi dari air ke darat. Komunitas pedagang buah dan sayur di Pasar Benteng merupakan komunitas yang dulunya berjualan di pasar apung Sungai Musi.
Bromo adalah nama sebuah gunung yang berlokasi di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, dan masih menjadi bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Gunung Bromo terbentuk dari letusan dahsyat Gunung Tengger yang membentuk kaldera dengan diameter lebih dari 8 kilometer.
Bromo memiliki ukuran yang tidak begitu besar dibandingkan dengan gunung berapi lainnya, yaitu hanya sekitar 2.329 mdpl. Sementara itu, kawahnya memiliki garis tengah sekitar 800 meter yang membujur dari utara ke selatan dan 600 meter yang membentang dari timur ke barat. Meski demikian, Bromo mempunyai daya tarik yg luar biasa. Ratusan wisatawan tiap hari berduyun-duyun menyaksikan eksotisme alam Bromo dari pelosok negeri dan berbagai belahan dunia . Tidaklah heran bila kita melihat ribuan manusia di kawasan Bromo setiap hari libur sedang menikmati keindahan alamnya.
Menuju Bromo
Untuk mencapai Bromo kita harus menuju Desa Cemoro Lawang terlebih dahulu. Kenapa? Karena Kawasan wisata Bromo itu sendiri adanya ya disitu.. hehehe. Jika kita menggunakan mobil pribadi & melewati jalur tol maka kita harus keluar pintu tol TONGAS. Yg mengherankan saya adalah dari sepanjang jalur tol tidak ada petunjuk arah menuju Bromo. Seharusnya menurut saya di sepanjang tol ada tulisan yg mengarahkan ke Bromo. Jadi saran saya sebaiknya anda menggunakan Aplikasi Waze atau Google Map supaya tidak kelewatan pintu keluarnya. Di pintu keluar Tol Tongas barulah tertulis Bromo (Tongas/ Bromo). Dari pintu keluar gerbang tol Tongas menuju Cemoro Lawang waktu yg dibutuhkan kira2 membutuhkan waktu 1-1,5 jam. Jangan anda bayangkan bahwa jalannya pasti bagus & lebar. Anda harus berhati-hati karena jalan menuju Bromo sangatlah kurang memadai, itu karena jalan yg anda lalui bukanlah jalan raya Bromo melainkan Jl Raya Purut Lumbang. Akan tetapi ketika kita sampai atau ketemu dgn jalan raya Bromo jalannya lebih keliatan bagus alias lumayan meskipun kecil. Katika sampai di jalan raya Bromo, jalan yg kita lalui akan terus menanjak meskipun tidak terlalu terjal akan tetapi terus naik selama 1 jam an. Pastikan kondisi mobil kita harus Sehat alias Prima. Jika Mobil anda kurang sehat sebaiknya jgn menuju atas (desa Cemoro Lawang).
Cemoro Lawang
Desa Cemoro Lawang merupakan pintu masuk kita menuju ke kawasan wisata Bromo atau lebih tepat kita sebut Taman Nasional Gunung Bromo. Letaknya di lereng pegunungan Tengger dengan ketinggian 2.200 mdpl. Pemandangan di desa ini sudah pasti luar biasa indah. Udaranya sangat segar, tapi pada malam hari wow jgn harap bisa pakai baju hanya 2 lapis. Di sinilah udara malam hari terdingin yang pernah saya rasakan. Pagi haripun udaranya sangat dingin dan dipenuhi kabut. Dari ujung Cemoro Lawang, kita bisa menikmati pemandangan Gunung Bromo dan Gunung Batok yang diselimuti kabut, juga hamparan lautan pasir yang eksotik. Saya menginap di View Bromo Homestay. Pilihan saya menginap disitu karena letaknya yang strategis persis di atas pintu masuk Taman Nasional Gunung Bromo. Suasana sangat sepi, bahkan jeep-jeep tidak banyak yg beroperasi, Ini karena keberadaan saya di Bromo adalah H-1 Lebaran Idul Fitri, 4 Juni 2019.
Sepinya Suasana Bromo di H-1 Lebaran thn 2019
Desa Cemoro Lawang di Sore Hari menjelang magrib
Malam Hari di Cemoro Lawang
Desa Cemoro Lawang dihuni oleh suku asli di sekitar Bromo yaitu Suku Tengger. Ciri khas dari suku ini adalah selalu menggunakan sarung yang diselempangkan ke lehernya baik dari kalangan anak-anak sampai orang tua. Kawasan Bromo yang terkenal sangat dingin menjadi alasan mengapa suku ini menggunakan sarung yang dililitkan ke lehernya. Suku ini masih memiliki adat istiadat yang kental dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan kepercayaan pada leluhurnya, membuat kawasan Bromo masih tetap terjaga kelestariannya. Ketika malam tiba saya mencoba untuk keluar menikmati udara malam, tetapi ternyata udaranya sangat dingin sekali & membuat saya tidak tahan berlama-lama di luar. Tujuan saya keluar selain menikmati udara dingin adalah untuk mendengarkan suara Takbiran karena malam itu adalah Malam Takbiran atau malam lebaran. Meskipun saya non muslim tapi keinginan untuk mendengar takbiran sangat kuat itu karena saya dibesarkan di Aceh & sudah terbiasa mendengar Takbir. Akan tetapi saya baru sadar bahwa saya berada di tengah-tengah warga suku tengger yang beragama Hindu. Suasana sepi sangat terasa di sini.
Inilah caption saya ketika itu di Instagram, 4 Juni 2019:
Tak ada TAKBIRAN di sini, tak ada juga suara Adzan pemanggil Sholat.
Saya baru sadar bahwa saya berada di tengah2 warga Suku Tengger yang beragama Hindu.
Seperti ada yg kurang rasanya.
Meski saya Non Muslim suara2 tadi sangat akrab di telinga saya.
Saat Malam Takbiran tiba Ketika kecil saya sering ikut pukul BEDUG di “LANGGAR” sebutan mesjid atau meunasah bagi masyarakat Aceh, tanpa ada teman2 yang melarang bakkan mereka merasa senang & gembira dgn keikut sertaan saya. Bahkan saya ikut takbir keliling.
Masihkah ada rasa itu??
Sudah pudarkah Kebersamaan itu.??
Sebuah Keindahan dalam perbedaan.
Dari ketinggian Gunung Bromo, Probolinggo,
dari tengah2 masyarakat Tengger yang sangat religius, saya mengucapkan:
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1440 H, untuk saudara2 ku umat Muslim semuanya.
MOHON MAAF LAHIR & BATHIN
Berbeda itu Indah..! 🙏🙏
Menuju Puncak Bromo
Tepat jam 03.00 pagi kami dibangunkan oleh Pak Gino Supir Jeep yg sudah kami booking sehari sebelumnya. Sewa Jeep dari Cemoro Lawang hanya Rp. 450.000, itupun karena suasana sepi (di hari Lebaran 1). Menurut informasi biasanya sewa Jeep dari Cemoro Lawang menuju 4 spot adalah Rp.600.00-700.000. Adapun 4 spot tersebut adalah: Sunrise Point (Puncak Bromo), Kawah Bromo, Padang Savana & Pasir Berbisik.
Sekitar pukul 03.45 kamipun sampai di puncak Pananjakan. Dari bawah naik ke atas cukup terjal jalan yg dilalui. Bagi anda yg tidak kuat sebaiknya naik kuda saja yg bisa disewa dgn harga Rp.50.00 -100.000. Sesampai di puncak kita harus menaiki anak tangga lagi yg lumayan terjal. Di atas kita bisa melihat matahari terbit yang sangat Indah luar biasa.
MENANTI SUNRISE DI PUNCAK BROMO
PART 1, INDAHNYA PUNCAK BROMO DI PAGI HARI
PART 2, INDAHNYA PUNCAK BROMO DI PAGI HARI
PART 3, INDAHNYA PUNCAK BROMO DI PAGI HARI
Menuju Kaldera Tengger
Tepat Jam 06.00 kamipun turun ke bawah kembali ke Jeep untuk menuju Kaldera Tengger di kawah Bromo. Perjalanan dari Pananjakan (Sunrise Point) ke Parkiran Kaldera Tengger butuh waktu kurang lebih 45 menit.
DARI PUNCAK BROMO MENUJU KALDERA TENGGER
Kaldera Tengger di Pagi Hari
Sesampainya di parkiran kita akan menyaksikan banyaknya pemilik kuda yang menawarkan jasanya untuk menuju Kaldera Tengger. Udara yang dingin & segar membuat banyak wisatawan memilih berjalan kaki menuju kaldera dibandingkan dengan menggunakan kuda. Saran saya memang sebaiknya begitu sambil berolahraga & kita juga bisa berhenti sebentar menyaksikan Pura Luhur Poten walau hanya dari luarnya saja atau hanya sekedar berfoto. Akan tetapi saya lebih memilih berkuda agar lebih cepat sampai di Kaldera. Sepanjang perjalanan menuju Kaldera kita akan menyaksikan di sebelah kanan kita adalah Gunung Batok.
MENUJU KALDERA TENGGER DI PAGI HARI
BERKUDA MENUJU KALDERA TENGGER, KAWAH BROMO
Menaiki 250 Anak Tangga Kaldera Tengger
Setelah sampai kaldera ternyata kuda hanya diperbolehkan di titik yang sudah ditentukan yang letaknya lumayan jauh dari bawah tangga naik menuju kawah. Kita harus berjalan kaki lagi, akan tetapi pemandangan dari titik tersebut sangat luar biasa, membuat wisatawan betah berlama-lama & berswafoto. Banyak spot yg bagus untuk pengambilan gambar. Saran saya sebaiknya gunakan kesempatan ini untuk berfoto karena pada umumnya banyak wisatawan yang langsung menuju anak tangga. Mungkin mereka pada tidak sabar ingin melihat kawah Bromo atau Kaldera Tengger dari atas sehingga lupa menggunakan momen di bawah tangga.
Di bawah kaki kaldera sudah banyak wisatawan yang antri untuk naik ke tangga secara bergiliran. Jumlah anak tangganya adalah 250 dengan ketinggian yang sangat terjal. Tangga yang terjal membuat wisatawan sudah pasti tidak akan sanggup hanya satu kali jalan tanpa istirahat. Tapi jangan kuatir karena setiap beberapa anak tangga yang dinaiki atau beberapa meter ada celah di kiri kanan kita baik untuk naik maupun turun. Karena celahnya sangat kecil maka kita harus bergantian dengan wisatawan lainnya. Di sinilah biasanya terjadi kemacetan di tangga. Sesampai di atas saya pastikan bahwa kita akan sangat kagum melihat pemandangan sekelilingnya terutama kawah bromo atau lebih tepat Kaldera Tengger. Pura yg tadi kita lewati kelihatan sangat indah dari atas. Jumlah wisatawan yang banyak berkumpul di atas membuat kita tidak bisa berlama-lama.
MENAIKI 250 ANAK TANGGA KE KALDERA TENGGER, KAWAH BROMO
Shavana Bromo yang Eksotik
Setelah kembali ke mobil di parkiran, sekitar Jam 9 lewat kami dibawa oleh Pak Gino supir Jeep menuju Padang rumput Shavana atau orang2 sering menyebutnya juga Bukit Teletubbies. Ratusan jeep berseliweran mondar mandir baik yang pergi maupun pulang dari Shavana. Pak Gino membawa kami ke titik tertentu di Shavana yang menurutnya indah. Kita juga boleh memilih berhenti di titik lain. Di Savana sudah tentu banyak spot foto yang baik.
RATUSAN JEEP MENUJU PADANG RUMPUT SHAVANA BROMO YANG EKSOTIK
Pasir Berbisik
Selesai dari padang rumput Shavana kita akan dibawa ke titik berikut atau titik terakhir yaitu PASIR BERBISIK. Nama pasir berbisik itu sendiri mengadopsi dari judul film layar lebar. Sebenarnya pasir berbisik tersebut adalah hamparan pasir/ padang pasir yang kita lewati ketika menuju Shavana. Akan tetapi para supir jeep biasanya lebih memilih ini sebagai spot terakhir, karena biasanya wisatawan lebih betah berlama-lama di sini daripada di Shavana.
Kurang lebih jam 10 pagi kamipun kembali ke penginapan untuk bersiap-siap check out menuju destinasi wisata berikutnya masih di wilayah Jawa Timur yaitu: TUMPAK SEWU di Lumajang.